KESEPAKATAN AKSI ALPHA

Ayo Ikut Berpartisipasi Dalam ALPHA!

SOSIALISASI HERO

HIV AIDS, End Right Now!

TEMU RIANG ANGGOTA FAD BULELENG

Temu Riang Anggota FAD Buleleng Kedua yang dihadiri oleh badan pengawas, anggota aktif FAD Buleleng, dan anak-anak kurang mampu di wilayah Panji.

PEMILIHAN DUTA ANAK DAN SIDANG ANAK KAB. BULELENG 2018

Lima Duta Anak Kab. Buleleng 2018.

LITERASI ALPHA

Awareness Let People Help Autism

Sabtu, 28 April 2018

AUT.IS.ME atau OUT.IS.ME

(Yuk, Menyingkap dan Menyikap Autisme!)
 
Autisme adalah gangguan yang menyebabkan sesesorang sulit berkomunikasi dengan dunia luar. Biasanya gejalanya sudah terlihat sejak sebelum berusia 3 tahun. Dan ini adalah saat terberat menjadi orangtua dari Anak dengan kebutuhan khusus, autisme. Berdasarkan informasi dari Yayasan Autisme Indonesia, autisme biasanya membuat anak tidak dapat secara otomatis belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga ia seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.

Pernah merasa frustasi karena saudara kecil kita mengeksplor dunia dengan caranya yang 'nakal'?, bicara melulu tak kenal henti, merobek-robek, memanjat jendela, berlari kesana kemari, menarik-narik baju meminta sesuatu hingga tidak mau tidur karena masih asyik mengobrol? Apa yang kita rasakan? Lelah? Ingin marah? Apalagi di tengah rutinitas pekerjaan dan hal-hal lain yang juga harus dilakukan. Sebelum memarahi saudara yang sedang berusaha mengenal dunia itu, coba sesekali kunjungilah pusat-pusat terapi anak berkebutuhan khusus (ABK). Duduk saja disitu satu jam, dengarkan para orangtua yang sedang menunggu anaknya, sembari mengobrol.
Mereka, adalah orang-orang kuat yang punya keinginan sederhana. "Yah, setidaknya dia bisa bertahan hidup, kalau saya meninggal nanti..." "Enggak perlu-lah pintar matematika, bahasa, atau fisika, yang penting bisa membuat KTP sendiri, bisa keluar dan pulang sendiri, serta bisa menghasilkan uang secukupnya saja, sudah tenang..." "Rasanya saya cuma mau bisa mengobrol dengan dia, seperti orang lain.." begitu biasanya hal-hal yang terucap dari bibir orang-orang hebat itu.
Tak ada lelahnya, tak ada kata menyerah, buat mereka. Sebab, anak mereka, spesial. Dan yang harus dilakukan pun teramat spesial dalam membesarkan anak-anak itu. Akan malu sekali hati kita, saat mengeluh karena saudara kita sedang 'nakal-nakal nya'. Karena 'kenakalan' yang dia alami ini, adalah dambaan para orangtua tersebut. 
Bersyukurlah, dan berempatilah. Misalnya dengan berhenti menggunakan kata "autis" untuk menggambarkan orang yang asyik sendiri. Atau menyebut anak-anak spesial dengan "idiot" atau "anak aneh". Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas, dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).
Dengan pengertian tersebut, apakah sesuai jika digunakan sebagai seseorang yang berperilaku “negatif” atau “rebel”? Tidak seharusnya penggunaan kata “autis” dijadikan candaan sehari-hari, Bayangkan saja perasaan orangtuanya, yang sudah lelah membesarkan anak dengan kebutuhan khusus tersebut. Apa rasanya, jika kita ada di posisi itu?
Sebab kita belum tentu kuat. Menerima apa adanya, dan terus berusaha agar anak yang mengalami kesulitan berinteraksi ini, setidaknya mampu hidup mandiri saja, sudah merupakan hal yang luar biasa. Belum lagi tekanan dari lingkungan sekitar, rasa bersalah dan rasa iri melihat anak-anak lain yang bisa bermain dan berkomunikasi dengan baik.
Jadi bukan tak mungkin kita membantu, mengurangi beban yang harus mereka tanggung, bahkan dengan hal kecil seperti jadi pendengar dan pembicara yang baik untuk setiap kisah yang mengalir sendu dari mulut-mulut mereka serta kepada sesama kita tentang mereka. Mari kita jadi bagian dari orang-orang yang peduli terhadap sesama, tanpa membedakan apapun. Karena seperti kata Miss Grandin "They're different, but not less.."

Duta Anak Buleleng Bid. Perlindungan Khusus, Arnold Keane.

Sabtu, 21 April 2018

SEJARAH HARI KARTINI

Sejarah diperingatinya Hari Kartini pada tanggal 21 April adalah setelah ditetapkan oleh Presiden Soekarno dengan surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964 dimana Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan sekaligus menetapkan hari lahirnya yaitu tanggal 21 April diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Raden Adjeng (RA) Kartini adalah seorang wanita dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis. Kartini sangat tertarik pada kemajuan berpikir perempuan-perempuan di Eropa hingga timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi yang pada saat itu berada pada status sosial yang rendah. Surat-surat Kartini sebagai hasil korespondennya dengan beberapa rekan sahabatnya di Eropa
kemudian dijadikan sebuah buku yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Terima kasih telah membaca artikel ini semoga bermanfaat.
Salam Anak Buleleng!
Referensi
http://artikelputra.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-ra-kartini.html