(Yuk, Menyingkap dan Menyikap Autisme!)
Autisme adalah gangguan yang menyebabkan sesesorang sulit berkomunikasi
dengan dunia luar. Biasanya gejalanya sudah terlihat sejak sebelum
berusia 3 tahun. Dan ini adalah saat terberat menjadi orangtua dari Anak
dengan kebutuhan khusus, autisme. Berdasarkan informasi dari Yayasan
Autisme Indonesia, autisme biasanya membuat anak tidak dapat secara
otomatis belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan
sekitarnya, sehingga ia seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Pernah merasa frustasi karena saudara kecil kita mengeksplor dunia
dengan caranya yang 'nakal'?, bicara melulu tak kenal henti,
merobek-robek, memanjat jendela, berlari kesana kemari, menarik-narik
baju meminta sesuatu hingga tidak mau tidur karena masih asyik
mengobrol? Apa yang kita rasakan? Lelah? Ingin marah? Apalagi di tengah
rutinitas pekerjaan dan hal-hal lain yang juga harus dilakukan. Sebelum
memarahi saudara yang sedang berusaha mengenal dunia itu, coba sesekali
kunjungilah pusat-pusat terapi anak berkebutuhan khusus (ABK). Duduk
saja disitu satu jam, dengarkan para orangtua yang sedang menunggu
anaknya, sembari mengobrol.
Mereka, adalah orang-orang kuat yang punya keinginan sederhana. "Yah,
setidaknya dia bisa bertahan hidup, kalau saya meninggal nanti..."
"Enggak perlu-lah pintar matematika, bahasa, atau fisika, yang penting
bisa membuat KTP sendiri, bisa keluar dan pulang sendiri, serta bisa
menghasilkan uang secukupnya saja, sudah tenang..." "Rasanya saya cuma
mau bisa mengobrol dengan dia, seperti orang lain.." begitu biasanya
hal-hal yang terucap dari bibir orang-orang hebat itu.
Tak ada lelahnya, tak ada kata menyerah, buat mereka. Sebab, anak
mereka, spesial. Dan yang harus dilakukan pun teramat spesial dalam
membesarkan anak-anak itu. Akan malu sekali hati kita, saat mengeluh
karena saudara kita sedang 'nakal-nakal nya'. Karena 'kenakalan' yang
dia alami ini, adalah dambaan para orangtua tersebut.
Bersyukurlah, dan berempatilah. Misalnya dengan berhenti menggunakan
kata "autis" untuk menggambarkan orang yang asyik sendiri. Atau menyebut
anak-anak spesial dengan "idiot" atau "anak aneh". Akibatnya anak
tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif,
aktivitas, dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).
Dengan pengertian tersebut, apakah sesuai jika digunakan sebagai
seseorang yang berperilaku “negatif” atau “rebel”? Tidak seharusnya
penggunaan kata “autis” dijadikan candaan sehari-hari, Bayangkan saja
perasaan orangtuanya, yang sudah lelah membesarkan anak dengan kebutuhan
khusus tersebut. Apa rasanya, jika kita ada di posisi itu?
Sebab kita belum tentu kuat. Menerima apa adanya, dan terus berusaha agar anak yang mengalami kesulitan berinteraksi ini, setidaknya mampu hidup mandiri saja, sudah merupakan hal yang luar biasa. Belum lagi tekanan dari lingkungan sekitar, rasa bersalah dan rasa iri melihat anak-anak lain yang bisa bermain dan berkomunikasi dengan baik.
Sebab kita belum tentu kuat. Menerima apa adanya, dan terus berusaha agar anak yang mengalami kesulitan berinteraksi ini, setidaknya mampu hidup mandiri saja, sudah merupakan hal yang luar biasa. Belum lagi tekanan dari lingkungan sekitar, rasa bersalah dan rasa iri melihat anak-anak lain yang bisa bermain dan berkomunikasi dengan baik.
Jadi bukan tak mungkin kita membantu, mengurangi beban yang harus mereka
tanggung, bahkan dengan hal kecil seperti jadi pendengar dan pembicara
yang baik untuk setiap kisah yang mengalir sendu dari mulut-mulut mereka
serta kepada sesama kita tentang mereka. Mari kita jadi bagian dari
orang-orang yang peduli terhadap sesama, tanpa membedakan apapun. Karena
seperti kata Miss Grandin "They're different, but not less.."
Duta Anak Buleleng Bid. Perlindungan Khusus, Arnold Keane.