Jumat, 12 Mei 2023

ANJASAN (Angan-Angan Jadi Tulisan) - Dikala Petang


 Sebuah cerita mengenai seorang anak yang mengalami kekerasan seksual. 

Di ruangan 3 x 3 meter itu, bayang-bayang itu kembali muncul sekelibat. Ketika bapak berbaju putih dengan kumis dan mata merah, sehabis mabuk, memanggil-manggilnya dengan sebutan nyeleneh yang mereka pikir itu bagus namun memualkan, ketika orang itu mendekat dan semakin mendekat, suaranya mengabur dan yang diingat hanyalah dia diam terpaku tanpa bisa berkata apapun, tanpa bisa protes. Sebelum tergerak sendiri dan memukul bapak berbaju putih itu. Setelahnya, dia hanya ketakutan.

Saat itu, Ani bukanlah orang pemalu. Ia bukan juga orang setegas itu. Sekolah SMA nya bukanlah sekolah yang begitu terkenal ataupun se prestisius sekolah-sekolah favorit lainnya. Pribadi yang ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja menjadikan Ani memiliki banyak teman yang setia dengannya.

Namun  kemampuan non akademiknya terutama di seni patut diacungi jempol. Selama ini, Ani pernah menjuarai kompetisi mewarnai, menggambar ataupun melukis sejak sekolah dasar. Ani memang tidak pernah menjadi juara kelas ataupun juara umum, namun hasil gambarannya selalu berhasil membuat siapa saja tercengang. Sudah jelas Ani adalah anak bahasa. Hari-harinya dihabiskan kalau bukan menggambar, ya menulis untuk tugas.

Meskipun begitu, dia menganggap hari-harinya selalu tenang dipenuhi tugas maupun rutinitas nya yang kebanyakan menggambar.  Pagi itu, dia harus berangkat sekolah pagi-pagi, satu jam sebelum jam telat siswa. Pukul 06.30, langit masih gelap-gelapnya.

“Ni, ibuk sama bapak nggak bisa jemput kamu sekolah hari ini, mau ke rumah temen bapak ada saudaranya nikah, kamu pulangnya naik angkot aja bisa nanti,ya?” Ani mengiyakan. Bukan tidak bisa mengendarai sepeda motor, keluarganya tidak punya cukup uang untuk membelikannya sepeda motor, terkadang masih kesusahan membayar biaya sekolahnya.

Di kelasnya, Ani termasuk tipe orang yang lumayan ramai dan suka mengajak teman-temannya mengobrol pertama. Suasana kelas hari itu ributnya bukan main, dipenuhi suara canda dan tawa orang-orang kelas. Setengah hari sekolah itu dihabiskan dengan bermain kartu yang disembunyikan dan ditutupi dikolong meja, mengobrol, sebagian anak ber-gosip ria di meja belakang, sebagiannya lagi orang-orang yang mungkin tidak tau harus melakukan apa sehingga mereka memilih untuk membuka buku pelajaran, hanya membuka. Terkadang Ani memilih menjadi anak seperti itu. Terkadang dia bosan dan ingin mencari suasana keramaian kelas. Hari itu Senin. Kebanyakan jam mapel kosong namun jam terakhir itu diiisi mata pelajaran Biologi. Ani tidak peduli sedikitpun dan memilih membaca novel dibawah kolong mejanya.

Baru saja ia akan melompat kegirangan untuk pulang dan membayangkan kedamaian penuh untuk menyelesaikan projek menggambarnya. Hasil menantang dirinya sendiri untuk menyelesaikan satu gambaran per hari. Sampai ternyata…

Sial. Ternyata hari ini dia punya janji kerja kelompok tari. “Huft…” Ani mendesah. Meskipun dia anak seni, tipe seni nya bukan menari bali, dia lebih suka bergumul dengan gambaran dan tulisan serta menghabiskan separuh waktunya duduk di meja belajar dibandingkan harus dipaksa menggerakkan badannya. Namun, dia tetap menunggu teman-temannya dengan sabar sembari kembali melanjutkan gambarannya. Gambar-gambar Ani dipenuhi elemen-elemen yang ceria dan menggunakan warna-warna yang lebih cerah seperti kuning dan hijau. Ani selalu berkata bahwa gambarannya menceritakan dirinya.

Berhubung penilaian sudah dekat, jadilah kerja kelompok tari itu berlangsung selama kurang lebih selama 2 jam, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.

Ani baru saja akan menekan kontak bapaknya kalau saja dia tidak ingat bahwa orangtuanya tidak bisa datang menjemput. Dia selalu dijemput bapak. Pulang sekolah sendirian membuatnya merasa aneh. Terlebih hari sudah sore menjelang malam. Jalanan sekitar sekolahnya sepi dengan penerangan minim. Ani memutuskan untuk mulai berjalan kaki, kebetulan satu-satunya terminal di daerahnya berada di dekat sekolah.

Angkot kebanyakan menepi saat pagi sampai siang untuk menjemput anak-anak yang akan berangkat maupun pulang sekolah. Ani sempat berpikiran untuk menyerah menanti angkot dan jalan kaki saja meski dia harus melalui 8 kilometer yang panjang dan melelahkan. Ani sudah memperkirakan itu akan memakan waktu sekitar 1 setengah jam karna dia cukup kelelahan dan tidak punya energi lagi untuk berlari. Angkot itu cukup sempit. Perkiraannya hanya mampu menampung sekitar 10 orang penumpang. Hanya ada dia, seorang ibu-ibu rentan yang sudah tua dengan tas belanja penuh dengan sayuran di depannya, mungkin selepas mengemas barang dagangan pasar, dan dua orang bapak-bapak yang menurutnya berusia sekitar 20 tahunan. Salah satunya mengenakan baju putih.

Awalnya suasana tenang-tenang saja. Sampai ketika Ani merasa seseorang mendekatinya dari belakang. Awalnya perlahan, sampai dia merasakan seseorang berada tepat dibelakangnya. Ani b,ergidik ngeri dibuatnya ketika dia merasakan hembusan napas yang kentara. Sekelibat dilihatnya dari kaca depan angkot, bapak itu hendak menciumnya. lTangan bapak itu meraih pinggangnya, mengucapkan kata-kata tidak senonoh yang Ani tidak pernah ingin dengar sampai kapanpun.

Rasa keterkejutannya tak kunjung hilang, bibirnya kelu, pikirannya belum memproses sempurna apa yang baru saja terjadi. Bapak-bapak yang baru saja menyentuhnya hanya tersenyum miring. Bau alkohol menguar dari mulutnya. Tampaknya bapak itu mabuk. Berdirinya linglung, pandangan matanya merah.

Ani yang medapatkan kesadarannya kembali kemudian memukul bapak baju putih itu dengan siku kearah dada, menjauhkannya.  Bapak itu memegang dada-nya kesakitan dan batuk. “Mau kemana malam-malam, geg” ucapnya sambil tersenyum-senyum. Gila, pikirnya. Segera saja Ani berlari keluar angkot. Biarlah bapak angkot meneriakinya karna belum membayar, ia tidak peduli lagi. Tangan bapak itu yang masih merangkul lengan ditepisnya kasar. Ia melompat dari angkot.

Ani kembali ke rumahnya. Semua lampu mati. Bapak ibunya belum pulang dari tempat acara. Ia pulang dengan napas tersengal-sengal, ia menangis tersedu-sedu ketakutan di jalan pulang. Kaki nya lecet. Ani kemudian bebersih diri. Dia berjanji tidak akan menceritakan soal apa yang terjadi kepada kedua orangtua nya karna sudah tau apa yang akan dikatakan. Kemungkinan besar dia akan dimarahi. Jadilah malam itu ketika orangtuanya kembali, Ani menyapa mereka berdua seperti biasa, tanpa sepatah kata pun.

Dalam waktu kurang dari sebulan itu, Ani mulai bermimpi aneh-aneh tentang tangan-tangan yang ingin meraihnya, lalu terbangun tengah malam, ketakutan akan orang-orang yang akan menyakitinya. Ani mulai menjauh dari teman-temannya. Mengobrol bukan lagi hal kesukaannya. Mungkin jika versi dirinya yang sebelumnya bisa mengobrol dengan dirinya yang sekarang, dia tak akan pernah menyangka bisa berubah seperti sekarang.

Ada yang hilang dari Ani. Hal yang paling dibanggakannya, kemampuan seni-nya termasuk gaya menggambarnya berubah. Pengalaman traumatis itu membuatnya tidak ingin membuka diri. Teman-teman baik di kelasnya menyadari perubahan yang terjadi, Ani semakin hari semakin pendiam. Bahkan suatu saat, teman-temannya menemukan ceceran kertas gambar, beberapa kertas yang diremas dengan tulisan-tulisan kontras bertuliskan kata seperti kematian, trauma, depresi dan kesendirian. Gambar-gambar itu tergeletak begitu sedih dan kesepian, sama persis seperti Ani sekarang. Teman-temannya melihat tertawa-tawa, berpikir gambarannya sangat aneh dan ‘sok sedih’.

“Ani kenapa deh? Kok jadi sok-sokan depresi gitu sih dianya.”

“Tau tuh, malah ngejauh, udah ga bareng kita lagi ya? diajak main gamau, jangankan main, diajak ngomong pun diem aja, ga seru deh.”

“Iyadeh, sekarang dia udah males gitu ya, ngapa-ngapain ga semangat, lesu ajaaa.”

Sahut-menyahut itu terus berlanjut sampai Marya, salah satu yang paling berani, menyela.

“Kali aja dia lagi ada masalah, temen-temen, gaboleh gitu dulu, kita tanya aja kenapa” katanya membela. Marya, sekretaris kelas, memanglah orang paling pengertian diantara mereka semua.

Karna sifat periangnya, Ani punya banyak teman dekat, Marya adalah salah satunya. Kedekatannya dengan Marya berbeda dari yang lain karna mereka berdua suka bertukar cerita dan menghabiskan banyak waktu bersama.

“Ya sama aja sih, kalaupun dia lagi ada masalah, harusnya kan cerita ya” sahut Amel.

Orangtua Ani yang mengetahui perubahan tabiatnya tidak tahan lagi melihat Ani bermalasan, terkadang di tempat tidur, terkadang berdiam di meja belajarnya selama entah berapa lama. Namun yang pasti, setiap harinya, Ani akan pulang dengan wajah muram, Ani tak lagi bercerita tentang bagaimana hari-harinya di sekolah, guru mana yang membuatnya naik darah, atau informasi terbaru apa saja yang didapatkannya hasil mengobrol bersama teman-temannya hari itu. Hanya ada Ani yang suka berdiam dan hanya berbicara ketika ditanya, atau bahkan tidak sama sekali, Ani yang mengunci diri di kamar, Ani yang pagi-pagi, matanya akan sembab hasil menangis. Suatu ketika, orangtua nya membuka pintu kamar Ani yang tidak terkunci. Pemandangan Ani yang menangis memangku kedua lututnya di lantai, ketika dia menengok, matanya sembab dan rambutnya acak-acakan.

Orangtua Ani bukanlah tipe orangtua yang tau apa yang harus diperbuat. Ani sudah tau itu.  Umur mereka cukup tua untuk tau apa yang harus dilakukan. Jadi, setiap malam, Ani akan menangis dibalik pintu kamar nya, tanpa bersuara. Takut membangunkan kedua orangtuanya. Ani merasa dirinya begitu kotor. Ucapan bapak-bapak di angkot itu masih terputar di kepalanya. Ani marah bahwa bapak itu bisa melakukan seenaknya.

Keesokan harinya, Ani datang kesekolah masih dengan kelesuan dan beban yang sama. Marya sebagai sekretaris yang sedang menulis absensi kelas di papan menghembuskan napas, sontak menghentikan aktivitas-nya dan menariknya keluar kelas dengan Ani yang masih membawa tas.

“Kamu kenapasih, Ni?” Bahkan sebelum Ani sempat menjawab, Marya sudah lanjut berbicara. “Kamu awalnya punya banyak temen, suka kumpul-kumpul bareng kita, kalau kamu ada kenapa-kenapa, cerita aja,” tapi Ani hanya diam. Satu menit, dia merasa tangannya berkeringat. Menit berikutnya, seluruh pelipisnya berkeringat dingin, dan tangannya bergetar. Takut.

“Lebih parahnya lagi, kemampuan seni kamu jadi penyalurnya. Aku tau kamu yang sekarang yang jadi sering gambar-gambar  gelap gitu, kamu nulis aneh-aneh gitu. Apa yang  buat kamu bisa menggambarkan itu? Sini!” Tanpa basa-basi, Marya menyeretnya menuju ruangan belakang kelas yang sepi, hanya ditempati kardus-kardus bekas acara sekolah.

Ditepisnya tangan Marya yang ingin meraihnya sambil menangis, kali ini terisak-isak. “Aku takut, Mar…aku takut” tangisnya.“Iya masalahnya, kenapa takutnya?”

Sambil terisak, Ani menceritakan peristiwa yang terjadi padanya malam sepulang sekolah di angkot tersebut, tentang seorang bapak-bapak mabuk berbaju putih yang menyentuhnya dan melontarkan kata-kata melecehkan, tentang dia yang tidak menceritakan apa yang terjadi ke orangtuanya. Semuanya.

“Tapi aku ngerasa bersalah aja sama diri sendiri, waktu badanku disentuh, aku malah gabisa ngapa-ngapain dan diem aja kaya gitu, aku cuma ngerasa kotor aja aku jadi orang, di rumah juga aku ngga bisa cerita ke siapa-siapa ”.

“Itu namanya kamu dilecehin, Ni. Kamu cuma kena kelumpuhan sementara aja itu, orang-orang bilangnya itu tonic immobility, itu sebenernya biasa dialamin korban kekerasan seksual. Wajar kamu ga teriak atau lari atau bahkan bereaksi apa-apa, kamu sebenernya kaget aja. Ini yang banyak dilalui korban kekerasan seksual lain yang bikin orang-orang malah jadi nyalahin si korban padahal kalian itu wajar aja kok. Kamu ngga bisa membenarkan pelaku mau mereka sadar atau tidak.”

“Gini-gini aku dulu ikut KSPAN waktu SMP. Tapi bagus kamu udah mau cerita sama aku, apapun itu.” suara Marya melembut. Ani masih menangis kecil.

“Walaupun temen-temen ngejauhin kamu, bilang yang bukan-bukan tentang kamu, aku akan tetap disini, Ni, kamu boleh cerita apapun ke aku, kamu boleh sedih, marah, menangis. Aku akan selalu berusaha untuk dengerin kamu. Aku akan bantu kamu, Ni. Kebetulan juga mamahku kerja di dinas kan. Aku akan lihat apa bisa membantu sesuatu.”

Tak lebih dari dua minggu telah berlalu, Marya, seperti sebagaimana seorang teman yang baik, mengantarkan Ani bersama orangtuanya untuk melakukan pelaporan menuju Dinas P2KBP3A Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, ia telah cukup berani untuk hal itu. Disana, Ani diberikan konseling oleh psikolog, Ani berusaha menjadi terbuka dengan menceritakan apa yang terjadi, apa yang dia rasakan, ia diberitahu untuk bebas menyalurkan segala yang menjadi keresahannya kedalam apa yang disenanginya, seni, menggambar. Di lain waktu, orangtua Ani diajaknya berbicara. Cukup sulit untuk menjelaskan kepada mereka apa yang terjadi terlebih yang menimpa  anaknya sendiri. Percakapan tersebut cukup memakan waktu. Mereka sedih ketika diberitahu “Pak, Buk, Ani ngga cerita karna dia takut dimarah, sebaiknya Ani lebih sering ditemani untuk saat ini, karna di kelas, kami lihatnya dia murung terus, seperti ada beban.”

Namun yang pasti, sebelum tidur, orangtua nya akan datang ke kamarnya sekedar bertanya kabar, dan mengingatkannya bahwa dia masih mempunyai kedua orangtuanya untuk melindunginya, bahwa semuanya pada akhirnya akan baik-baik saja dan Ani tidak perlu khawatir. Pada akhirnya, Bapak dan Ibu Ani mengerti apa yang telah terjadi dan bahwa bagaimanapun, Ani tetap adalah anak semata wayang mereka yang berharga.

“Mulai sekarang, Bapak sama Ibu akan menjaga kamu lebih hati-hati. Kamu juga harus jaga diri sendiri. Kalau ada apa-apa, mulai sekarang, Bapak dan Ibu akan selalu berusaha dengerin kamu, kamu ngga perlu takut. Ada Marya juga kan.”

Marya merangkulnya lebih dari apapun. Mengajakknya makan bersama, mengantarkannya kemana pun, dan tidak membiarkan Ani sendirian untuk waktu terlalu lama. Ia tau betul bahwa apa yang bisa dia lakukan hanyalah menemani Ani dan selalu ada untuknya. Ia menjadi dekat dengan kedua orangtua Ani. Sesekali mereka bermain bersama dirumah, menemani dan menjaga Ani selayaknya saudara.

Jadilah di ruangan 3 x 3 m itu, Ani berterimakasih sekali lagi kepada seorang wanita paruh baya di hadapannya yang telah menemaninya selama dua bulan lebih. Berpamitan untuk meninggalkan tempat yang telah melihatnya menangis dan mencurahkan ketakutannya.

Karna tidak semua rasa sakit diperlihatkan. Bantulah teman-temanmu diluar sana yang membutuhkan. Adalah anak-anak diluar sana yang memendam trauma nya, rasa sakit mereka bisa diperlihatkan melalui apa saja.Berani menjadi 2P. Pelopor, Pelapor.

Rangkullah korban. Hentikan Kekerasan Seksual.



0 komentar:

Posting Komentar