Sebuah cerita mengenai seorang anak yang mengalami kekerasan seksual.
Di ruangan 3 x 3 meter itu, bayang-bayang
itu kembali muncul sekelibat. Ketika bapak berbaju putih dengan kumis dan mata
merah, sehabis mabuk, memanggil-manggilnya dengan sebutan nyeleneh yang mereka
pikir itu bagus namun memualkan, ketika orang itu mendekat dan semakin
mendekat, suaranya mengabur dan yang diingat hanyalah dia diam terpaku tanpa
bisa berkata apapun, tanpa bisa protes. Sebelum tergerak sendiri dan memukul
bapak berbaju putih itu. Setelahnya, dia hanya ketakutan.
…
Saat itu, Ani bukanlah orang pemalu. Ia
bukan juga orang setegas itu. Sekolah SMA nya bukanlah sekolah yang begitu
terkenal ataupun se prestisius sekolah-sekolah
favorit lainnya. Pribadi yang ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja
menjadikan Ani memiliki banyak teman yang setia dengannya.
Namun
kemampuan non akademiknya terutama di seni patut diacungi jempol. Selama ini,
Ani pernah menjuarai kompetisi mewarnai, menggambar ataupun melukis sejak
sekolah dasar. Ani memang tidak pernah menjadi juara kelas ataupun juara umum,
namun hasil gambarannya selalu berhasil membuat siapa saja tercengang. Sudah
jelas Ani adalah anak bahasa. Hari-harinya dihabiskan kalau bukan menggambar, ya
menulis untuk tugas.
Meskipun begitu, dia menganggap hari-harinya
selalu tenang dipenuhi tugas maupun rutinitas nya yang kebanyakan menggambar. Pagi itu, dia harus berangkat sekolah
pagi-pagi, satu jam sebelum jam telat siswa. Pukul 06.30, langit masih
gelap-gelapnya.
“Ni, ibuk sama bapak nggak bisa jemput kamu
sekolah hari ini, mau ke rumah temen bapak ada saudaranya nikah, kamu pulangnya
naik angkot aja bisa nanti,ya?” Ani mengiyakan. Bukan tidak bisa mengendarai
sepeda motor, keluarganya tidak punya cukup uang untuk membelikannya sepeda motor,
terkadang masih kesusahan membayar biaya sekolahnya.
Di kelasnya, Ani termasuk tipe orang yang
lumayan ramai dan suka mengajak teman-temannya mengobrol pertama. Suasana kelas
hari itu ributnya bukan main, dipenuhi suara canda dan tawa orang-orang kelas.
Setengah hari sekolah itu dihabiskan dengan bermain kartu yang disembunyikan
dan ditutupi dikolong meja, mengobrol, sebagian anak ber-gosip ria di meja
belakang, sebagiannya lagi orang-orang yang mungkin tidak tau harus melakukan
apa sehingga mereka memilih untuk membuka buku pelajaran, hanya membuka. Terkadang
Ani memilih menjadi anak seperti itu. Terkadang dia bosan dan ingin mencari suasana
keramaian kelas. Hari itu Senin. Kebanyakan jam mapel kosong namun jam terakhir
itu diiisi mata pelajaran Biologi. Ani tidak peduli sedikitpun dan memilih
membaca novel dibawah kolong mejanya.
Baru saja ia akan melompat kegirangan
untuk pulang dan membayangkan kedamaian penuh untuk menyelesaikan projek
menggambarnya. Hasil menantang dirinya sendiri untuk menyelesaikan satu
gambaran per hari. Sampai ternyata…
Sial. Ternyata hari ini dia punya janji
kerja kelompok tari. “Huft…” Ani mendesah. Meskipun dia anak seni, tipe seni
nya bukan menari bali, dia lebih suka bergumul dengan gambaran dan tulisan
serta menghabiskan separuh waktunya duduk di meja belajar dibandingkan harus
dipaksa menggerakkan badannya. Namun, dia tetap menunggu teman-temannya dengan
sabar sembari kembali melanjutkan gambarannya. Gambar-gambar Ani dipenuhi
elemen-elemen yang ceria dan menggunakan warna-warna yang lebih cerah seperti
kuning dan hijau. Ani selalu berkata bahwa gambarannya menceritakan dirinya.
Berhubung penilaian sudah dekat, jadilah
kerja kelompok tari itu berlangsung selama kurang lebih selama 2 jam, tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan.
Ani baru saja akan menekan kontak bapaknya
kalau saja dia tidak ingat bahwa orangtuanya tidak bisa datang menjemput. Dia
selalu dijemput bapak. Pulang sekolah sendirian membuatnya merasa aneh. Terlebih
hari sudah sore menjelang malam. Jalanan sekitar sekolahnya sepi dengan penerangan
minim. Ani memutuskan untuk mulai berjalan kaki, kebetulan satu-satunya terminal
di daerahnya berada di dekat sekolah.
Angkot kebanyakan menepi saat pagi sampai
siang untuk menjemput anak-anak yang akan berangkat maupun pulang sekolah. Ani
sempat berpikiran untuk menyerah menanti angkot dan jalan kaki saja meski dia
harus melalui 8 kilometer yang panjang dan melelahkan. Ani sudah memperkirakan
itu akan memakan waktu sekitar 1 setengah jam karna dia cukup kelelahan dan
tidak punya energi lagi untuk berlari. Angkot itu cukup sempit. Perkiraannya
hanya mampu menampung sekitar 10 orang penumpang. Hanya ada dia, seorang
ibu-ibu rentan yang sudah tua dengan tas belanja penuh dengan sayuran di
depannya, mungkin selepas mengemas barang dagangan pasar, dan dua orang bapak-bapak
yang menurutnya berusia sekitar 20 tahunan. Salah satunya mengenakan baju
putih.
Awalnya suasana tenang-tenang saja. Sampai
ketika Ani merasa seseorang mendekatinya dari belakang. Awalnya perlahan,
sampai dia merasakan seseorang berada tepat dibelakangnya. Ani b,ergidik ngeri
dibuatnya ketika dia merasakan hembusan napas yang kentara. Sekelibat
dilihatnya dari kaca depan angkot, bapak itu hendak menciumnya. lTangan bapak
itu meraih pinggangnya, mengucapkan kata-kata tidak senonoh yang Ani tidak
pernah ingin dengar sampai kapanpun.
Rasa keterkejutannya tak kunjung hilang,
bibirnya kelu, pikirannya belum memproses sempurna apa yang baru saja terjadi.
Bapak-bapak yang baru saja menyentuhnya hanya tersenyum miring. Bau alkohol
menguar dari mulutnya. Tampaknya bapak itu mabuk. Berdirinya linglung,
pandangan matanya merah.
Ani yang medapatkan kesadarannya kembali
kemudian memukul bapak baju putih itu dengan siku kearah dada, menjauhkannya. Bapak itu memegang dada-nya kesakitan dan
batuk. “Mau kemana malam-malam, geg” ucapnya sambil tersenyum-senyum. Gila,
pikirnya. Segera saja Ani berlari keluar angkot. Biarlah bapak angkot meneriakinya
karna belum membayar, ia tidak peduli lagi. Tangan bapak itu yang masih
merangkul lengan ditepisnya kasar. Ia melompat dari angkot.
…
Ani kembali ke rumahnya. Semua lampu mati.
Bapak ibunya belum pulang dari tempat acara. Ia pulang dengan napas
tersengal-sengal, ia menangis tersedu-sedu ketakutan di jalan pulang. Kaki nya
lecet. Ani kemudian bebersih diri. Dia berjanji tidak akan menceritakan soal
apa yang terjadi kepada kedua orangtua nya karna sudah tau apa yang akan
dikatakan. Kemungkinan besar dia akan dimarahi. Jadilah malam itu ketika
orangtuanya kembali, Ani menyapa mereka berdua seperti biasa, tanpa sepatah
kata pun.
Dalam waktu kurang dari sebulan itu, Ani
mulai bermimpi aneh-aneh tentang tangan-tangan yang ingin meraihnya, lalu
terbangun tengah malam, ketakutan akan orang-orang yang akan menyakitinya. Ani
mulai menjauh dari teman-temannya. Mengobrol bukan lagi hal kesukaannya. Mungkin
jika versi dirinya yang sebelumnya bisa mengobrol dengan dirinya yang sekarang,
dia tak akan pernah menyangka bisa berubah seperti sekarang.
Ada yang hilang dari Ani. Hal yang paling
dibanggakannya, kemampuan seni-nya termasuk gaya menggambarnya berubah. Pengalaman
traumatis itu membuatnya tidak ingin membuka diri. Teman-teman baik di kelasnya
menyadari perubahan yang terjadi, Ani semakin hari semakin pendiam. Bahkan
suatu saat, teman-temannya menemukan ceceran kertas gambar, beberapa kertas
yang diremas dengan tulisan-tulisan kontras bertuliskan kata seperti kematian,
trauma, depresi dan kesendirian. Gambar-gambar itu tergeletak begitu sedih dan
kesepian, sama persis seperti Ani sekarang. Teman-temannya melihat
tertawa-tawa, berpikir gambarannya sangat aneh dan ‘sok sedih’.
“Ani kenapa deh? Kok jadi sok-sokan depresi
gitu sih dianya.”
“Tau tuh, malah ngejauh, udah ga bareng
kita lagi ya? diajak main gamau, jangankan main, diajak ngomong pun diem aja,
ga seru deh.”
“Iyadeh, sekarang dia udah males gitu ya,
ngapa-ngapain ga semangat, lesu ajaaa.”
Sahut-menyahut itu terus berlanjut sampai
Marya, salah satu yang paling berani, menyela.
“Kali aja dia lagi ada masalah,
temen-temen, gaboleh gitu dulu, kita tanya aja kenapa” katanya membela. Marya,
sekretaris kelas, memanglah orang paling pengertian diantara mereka semua.
Karna sifat periangnya, Ani punya banyak
teman dekat, Marya adalah salah satunya. Kedekatannya dengan Marya berbeda dari
yang lain karna mereka berdua suka bertukar cerita dan menghabiskan banyak
waktu bersama.
“Ya sama aja sih, kalaupun dia lagi ada
masalah, harusnya kan cerita ya” sahut Amel.
Orangtua Ani yang mengetahui perubahan
tabiatnya tidak tahan lagi melihat Ani bermalasan, terkadang di tempat tidur,
terkadang berdiam di meja belajarnya selama entah berapa lama. Namun yang
pasti, setiap harinya, Ani akan pulang dengan wajah muram, Ani tak lagi
bercerita tentang bagaimana hari-harinya di sekolah, guru mana yang membuatnya
naik darah, atau informasi terbaru apa saja yang didapatkannya hasil mengobrol
bersama teman-temannya hari itu. Hanya ada Ani yang suka berdiam dan hanya
berbicara ketika ditanya, atau bahkan tidak sama sekali, Ani yang mengunci diri
di kamar, Ani yang pagi-pagi, matanya akan sembab hasil menangis. Suatu ketika,
orangtua nya membuka pintu kamar Ani yang tidak terkunci. Pemandangan Ani yang
menangis memangku kedua lututnya di lantai, ketika dia menengok, matanya sembab
dan rambutnya acak-acakan.
Orangtua Ani bukanlah tipe orangtua yang
tau apa yang harus diperbuat. Ani sudah tau itu. Umur mereka cukup tua untuk tau apa yang
harus dilakukan. Jadi, setiap malam, Ani akan menangis dibalik pintu kamar nya,
tanpa bersuara. Takut membangunkan kedua orangtuanya. Ani merasa dirinya begitu
kotor. Ucapan bapak-bapak di angkot itu masih terputar di kepalanya. Ani marah
bahwa bapak itu bisa melakukan seenaknya.
Keesokan harinya, Ani datang kesekolah
masih dengan kelesuan dan beban yang sama. Marya sebagai sekretaris yang sedang
menulis absensi kelas di papan menghembuskan napas, sontak menghentikan aktivitas-nya
dan menariknya keluar kelas dengan Ani yang masih membawa tas.
“Kamu kenapasih, Ni?” Bahkan sebelum Ani sempat
menjawab, Marya sudah lanjut berbicara. “Kamu awalnya punya banyak temen, suka
kumpul-kumpul bareng kita, kalau kamu ada kenapa-kenapa, cerita aja,” tapi Ani
hanya diam. Satu menit, dia merasa tangannya berkeringat. Menit berikutnya,
seluruh pelipisnya berkeringat dingin, dan tangannya bergetar. Takut.
“Lebih parahnya lagi, kemampuan seni kamu
jadi penyalurnya. Aku tau kamu yang sekarang yang jadi sering
gambar-gambar gelap gitu, kamu nulis
aneh-aneh gitu. Apa yang buat kamu bisa
menggambarkan itu? Sini!” Tanpa basa-basi, Marya menyeretnya menuju ruangan
belakang kelas yang sepi, hanya ditempati kardus-kardus bekas acara sekolah.
Ditepisnya tangan Marya yang ingin
meraihnya sambil menangis, kali ini terisak-isak. “Aku takut, Mar…aku takut” tangisnya.“Iya
masalahnya, kenapa takutnya?”
Sambil terisak, Ani menceritakan peristiwa
yang terjadi padanya malam sepulang sekolah di angkot tersebut, tentang seorang
bapak-bapak mabuk berbaju putih yang menyentuhnya dan melontarkan kata-kata
melecehkan, tentang dia yang tidak menceritakan apa yang terjadi ke
orangtuanya. Semuanya.
“Tapi aku ngerasa bersalah aja sama diri
sendiri, waktu badanku disentuh, aku malah gabisa ngapa-ngapain dan diem aja
kaya gitu, aku cuma ngerasa kotor aja aku jadi orang, di rumah juga aku ngga
bisa cerita ke siapa-siapa ”.
“Itu namanya kamu dilecehin, Ni. Kamu cuma
kena kelumpuhan sementara aja itu, orang-orang bilangnya itu tonic immobility, itu sebenernya biasa
dialamin korban kekerasan seksual. Wajar kamu ga teriak atau lari atau bahkan
bereaksi apa-apa, kamu sebenernya kaget aja. Ini yang banyak dilalui korban
kekerasan seksual lain yang bikin orang-orang malah jadi nyalahin si korban
padahal kalian itu wajar aja kok. Kamu ngga bisa membenarkan pelaku mau mereka
sadar atau tidak.”
“Gini-gini aku dulu ikut KSPAN waktu SMP.
Tapi bagus kamu udah mau cerita sama aku, apapun itu.” suara Marya melembut. Ani
masih menangis kecil.
“Walaupun temen-temen ngejauhin kamu,
bilang yang bukan-bukan tentang kamu, aku akan tetap disini, Ni, kamu boleh
cerita apapun ke aku, kamu boleh sedih, marah, menangis. Aku akan selalu
berusaha untuk dengerin kamu. Aku akan bantu kamu, Ni. Kebetulan juga mamahku
kerja di dinas kan. Aku akan lihat apa bisa membantu sesuatu.”
…
Tak lebih dari dua minggu telah berlalu,
Marya, seperti sebagaimana seorang teman yang baik, mengantarkan Ani bersama
orangtuanya untuk melakukan pelaporan menuju Dinas P2KBP3A Pengendalian
Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, ia telah cukup
berani untuk hal itu. Disana, Ani diberikan konseling oleh psikolog, Ani
berusaha menjadi terbuka dengan menceritakan apa yang terjadi, apa yang dia
rasakan, ia diberitahu untuk bebas menyalurkan segala yang menjadi keresahannya
kedalam apa yang disenanginya, seni, menggambar. Di lain waktu, orangtua Ani
diajaknya berbicara. Cukup sulit untuk menjelaskan kepada mereka apa yang
terjadi terlebih yang menimpa anaknya
sendiri. Percakapan tersebut cukup memakan waktu. Mereka sedih ketika diberitahu
“Pak, Buk, Ani ngga cerita karna dia takut dimarah, sebaiknya Ani lebih sering
ditemani untuk saat ini, karna di kelas, kami lihatnya dia murung terus,
seperti ada beban.”
Namun yang pasti, sebelum tidur, orangtua
nya akan datang ke kamarnya sekedar bertanya kabar, dan mengingatkannya bahwa
dia masih mempunyai kedua orangtuanya untuk melindunginya, bahwa semuanya pada
akhirnya akan baik-baik saja dan Ani tidak perlu khawatir. Pada akhirnya, Bapak
dan Ibu Ani mengerti apa yang telah terjadi dan bahwa bagaimanapun, Ani tetap
adalah anak semata wayang mereka yang berharga.
“Mulai sekarang, Bapak sama Ibu akan
menjaga kamu lebih hati-hati. Kamu juga harus jaga diri sendiri. Kalau ada
apa-apa, mulai sekarang, Bapak dan Ibu akan selalu berusaha dengerin kamu, kamu
ngga perlu takut. Ada Marya juga kan.”
Marya merangkulnya lebih dari apapun. Mengajakknya
makan bersama, mengantarkannya kemana pun, dan tidak membiarkan Ani sendirian
untuk waktu terlalu lama. Ia tau betul bahwa apa yang bisa dia lakukan hanyalah
menemani Ani dan selalu ada untuknya. Ia menjadi dekat dengan kedua orangtua
Ani. Sesekali mereka bermain bersama dirumah, menemani dan menjaga Ani
selayaknya saudara.
Jadilah di ruangan 3 x 3 m itu, Ani
berterimakasih sekali lagi kepada seorang wanita paruh baya di hadapannya yang
telah menemaninya selama dua bulan lebih. Berpamitan untuk meninggalkan tempat
yang telah melihatnya menangis dan mencurahkan ketakutannya.
Karna
tidak semua rasa sakit diperlihatkan. Bantulah teman-temanmu diluar sana yang
membutuhkan. Adalah anak-anak diluar sana yang memendam trauma nya, rasa sakit
mereka bisa diperlihatkan melalui apa saja.Berani menjadi 2P. Pelopor, Pelapor.
Rangkullah korban. Hentikan Kekerasan Seksual.
0 komentar:
Posting Komentar