Sabtu, 08 April 2017

Nyepi Tahun Baru Caka 1939, Sang Belati Bermata Ganda Bagi Anak


Nyepi merupakan hari raya besar agama Hindu khususnya umat beragama Hindu di Bali. Nyepi berasal dari urat kata “sepi” yang artinya sunyi, yang berarti tidak ada aktivitas yang dilakukan masyarakat. Pelaksanaan nyepi dijadikan jalan penyucian dan penyeimbang unsur-unsur alam baik Bhuana Agung maupun Bhuana Alit, menurut kepercayaan agama Hindu. Umat beragama Hindu memohon kepada Yang Kuasa agar mendapatkan penyucian dan ketentraman hidup. Unsur-unsur yang telah diseimbangkan diharapkan bisa mencapai tujuan Tri Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki makna tiga penyebab kebahagiaan umat manusia.  Tri Hita Karana dibagi menjadi tiga bagian penting antara lain palemahan, pawongan, dan parahyangan. Palemahan berarti hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam (baik yang nyata maupun yang kasat mata), pawongan berarti hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia, dan parahyangan artinya hubungan yang baik antara manusia dengan Sang Pencipta.
Beberapa hari sebelum hari raya Nyepi, dilaksanakan upakara Melasti yang mana dilakukannya pengarakan sarana sembahyang di pura-pura ke sumber air terdekat, seperti laut maupun danau dan melakukan persembahyangan guna memohon penyucian diri manusia dan alam. Upacara ini biasanya dilakukan serempak satu desa. Sehari sebelum Nyepi disebut sebagai Pangrupukan. Pada hari tersebut dilaksanakan upacara Pecaruanbaik pecaruan agung maupun pecaruan alit di desa, banjar, hingga rumah penduduk. Dalam pecaruan, dipersembahkan sesajen untuk para Butha agar tidak mengganggu manusia. Selain itu, masyarakat Bali tentu akan menyemarakkan pangrupukan dengan pawai Ogoh-ogoh sebagai simbul Butha yang akan dilebur pengaruh buruknya. Butha yang dimaksud tidak hanya makhluk tak kasat mata, melainkan juga ego manusia. Pada puncaknya hari raya Nyepi, umat beragama Hindu akan melaksanakan Catur Brata Penyepian yang terdiri dari amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja/beraktivitas), amati lelungaan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak menikmati keduniawian). Sehari setelah Nyepi, dilaksanakan Ngembak Geni melalui kegiatan maaf-memaafkan antar sanak keluarga dan masyarakat.
Beberapa hari yang lalu, umat beragama Hindu telah melewati hari raya Nyepi Tahun Baru Caka 1939 yang menjadi awal tahun bagi umat beragama Hindu. Pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan nyepi di tahun-tahun sebelumnya. Perayaan hari raya Nyepi inilah yang masih saja menjadi Sang Belati Bermata Ganda bagi anak-anak, salah satunya di Kabupaten Buleleng. Disebut demikian karena cara menyikapi perayaan hari raya inilah yang menentukan apakah Nyepi yang sebenaranya hari raya yang suci, akan memberikan dampak positif atau justru sebaliknya.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, masyarakat sangat antusias melaksanakan upakara-upakara sebelum penyepian. Pada saat sebelum Melasti, berbondong-bondong masyarakat berias dan bersiap, begitu pula anak-anak. Perayaan saat pangrupukan juga tidak kalah semarak. Anak-anak sangat bersemangat memainkan bunyi-bunyian saat pecaruan berlangsung. Semua upakara berjalan baik dan lancar.
Perayaan utama saat pangrupukan adalah pawai Ogoh-ogoh. Dikutip dari @info_singaraja, tidak hanya remaja dan orang dewasa, anak-anak juga sangat antusias dalam pawai ogoh-ogoh. Bahkan mereka ikut serta dalam pembuatan ogoh-ogoh dan penampilan pawainya. Anak-anak diberikan kesempatan menuangkan ide-ide kreatifnya untuk membuat ogoh-ogoh serta memperlihatkan kemampuannya dalam bidang tari bali maupun megamel (memainkan gong). Tidak jarang anak-anak dan para remaja mengunggah aktivitasnya yang ikut serta dalam persiapan hingga pelaksanaan pawai ogoh-ogoh. Unggahan foto dan vidio tersebut memperlihatkan bagaimana anak-anak ikut ambil bagian dalam masyarakat sebagai wujud penghargaan terhadap peran anak dalam perayaan Nyepi.
Namun di balik itu semua, ada hal yang sangat disayangkan terjadi dalam perayaan Nyepi. Seperti kerusuhan yang terjadi di Banjar Dauh Peken, Desa Bungkulan. Kerusuhan terjadi akibat perseteruan antara dua belah pihak pengarak ogoh-ogoh seusai pawai. Beberapa dari mereka masih tergolong usia anak.Hal yang sama juga terjadi di Desa Kubutambahan.
Tidak seharusnya terjadi pula, pada hari puncak pelaksanaan Nyepi, masih ada anak-anak yang menggunakan gadget untuk alasan-alasan tertentu, padahal sudah diberikan himbauan serta aturan tegas dari pemerintah kabupaten terkait larangan penggunaan gadget dalam pelaksanaan Nyepi. Tidak diperbolehkannya penggunaan gadget saat penyepian, tidak lain karena melanggar Amati Geni dan Amati Lelanguan dalam pelaksanaan Catur Brata Penyepian. Saat menggunakan gadget, akan timbul panas dari gadget itu sendiri yang sangat bertentangan dengan Amati Geni. Begitu pula dengan Amati Lelanguan karena penggunaan gadget saat pelaksanaan Nyepi tidak lain untuk menghilangkan kebosanan sehingga dianggap sebagai kegiatan menghibur diri. Hal ini yang sangat dipertegas dalam artikel kali ini agar mulai dibiasakan untuk tidak menggunakan gadget saat Nyepi berlangsung.
Di sisi lain, ada juga anak-anak yang masih bermain di jalanan saat Nyepi dari pagi hingga sore hari. Mereka asyik bermain sepeda dan berlari-larian. Mereka juga menyalakan mercon dan kembang api yang sebenarnya sangat berbahaya. Suara kendaraan bermotor juga masih saja terdengar di beberapa desa akibat aktivitas remaja. Pada akhirnya, Catur Brata Penyepian tidak sepenuhnya dilaksanakan.
Beberapa kalangan masyarakat sering menganggap hal-hal yang tidak sesuai dalam perayaan Nyepi di atas sebagai suatu kewajaran di usia anak. Utamanya dari segi penggunaan gadget. Mereka tidak menganggpannya serius karena anak-anak dianggap belum banyak mengerti tentang pelaksanaan Nyepi sesungguhnya, yang nanti ketika dewasa mereka akan mengerti sendiri secara otomatis. Namun, jika terus dibiarkan dari usia anak, maka akan terbiasa dan membudaya dan  pelaksanakan Catur Brata Penyepian tidak akan diterapkan dengan baik. Justru pelaksanaan yang benar sejak dini yang akan mengubah tata cara pelaksanaan Nyepi yang salah sesegera mungkin.
Nyepi Tahun Baru Caka 1939 memang menjadi Belati Bermata Ganda bagi anak-anak, khususnya di Kabupaten Buleleng. Nyepi yang seharusnya menjadi cara membersihkan dunia, justru tidak dimaknai dengan baik, membentuk kebiasaan buruk, bahkan menuai bahaya bagi anak-anak itu sendiri.
Kesadaran dini sangat diperlukan untuk bisa memahami arti Nyepi sesungguhnya. Dalam hal ini, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Sosialisasi langsung ke desa-desa akan sangat membantu menegaskan pelaksanaan Nyepi yang benar, dibandingkan hanya melalui media massa. Para orang tua harus diberikan pemahaman bahwa anak-anak juga harus ikut melaksanakan Catur Brata Penyepian tanpa terkecuali. Para tokoh agama juga memiliki peran yang sangat penting. Mereka harus mampu menjadi contoh langsung pelaksana hari raya Nyepi yang benar. Aparat yang bertugas menjaga ketertiban saat sebelum Nyepi maupun saat Nyepi berlangsung harus bertindak tegas, bukannya ikut melanggar. Seperti misalnya menggunakan kendaraan bermotor saat memantau pelaksanaan Catur Brata Penyepian yang kerap terjadi di desa-desa tertentu. Jika perayaan Nyepi dan pelaksanaan Catur Brata Penyepian yang benar tidak dimulai dari orang dewasa, maka anak-anak tidak akan mampu melaksanakannya dengan benar pula. Anak-anak akan selalu mencontoh apa yang terjadi di sekitar mereka.
Untuk itulah, sangat diharapkan antara pemerintah dan masyarakat untuk saling merangkul, menjadi pelaksana Nyepi yang lebih baik di tahun berikutnya agarmenjadi contoh para generasi muda.
Semoga Nyepi Tahun Caka 1940 tidak lagi menjadi Belati Bermata Ganda bagi anak-anak di Kabupaten Buleleng.

Mari awali tahun agama Hindu dengan hal-hal positif....!!!


Referensi:
Wikipedia Indonesia
@info_singaraja

0 komentar:

Posting Komentar