Nyepi
merupakan hari raya besar agama Hindu khususnya umat beragama Hindu di Bali.
Nyepi berasal dari urat kata “sepi” yang artinya sunyi, yang berarti tidak ada
aktivitas yang dilakukan masyarakat. Pelaksanaan nyepi dijadikan jalan penyucian
dan penyeimbang unsur-unsur alam baik Bhuana
Agung maupun Bhuana Alit, menurut
kepercayaan agama Hindu. Umat beragama Hindu memohon kepada Yang Kuasa agar
mendapatkan penyucian dan ketentraman hidup. Unsur-unsur yang telah
diseimbangkan diharapkan bisa mencapai tujuan Tri
Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki makna tiga
penyebab kebahagiaan umat manusia. Tri
Hita Karana dibagi menjadi tiga bagian penting antara lain palemahan, pawongan,
dan parahyangan. Palemahan berarti hubungan yang harmonis antara manusia dengan
alam (baik yang nyata maupun yang kasat mata), pawongan berarti hubungan yang
harmonis antara manusia dengan sesama manusia, dan parahyangan artinya hubungan
yang baik antara manusia dengan Sang Pencipta.
Beberapa
hari sebelum hari raya Nyepi, dilaksanakan upakara Melasti yang mana dilakukannya pengarakan sarana sembahyang di
pura-pura ke sumber air terdekat, seperti laut maupun danau dan melakukan
persembahyangan guna memohon penyucian diri manusia dan alam. Upacara ini
biasanya dilakukan serempak satu desa. Sehari sebelum Nyepi disebut sebagai Pangrupukan. Pada hari tersebut
dilaksanakan upacara Pecaruanbaik
pecaruan agung maupun pecaruan alit di desa, banjar, hingga rumah penduduk.
Dalam pecaruan, dipersembahkan
sesajen untuk para Butha agar tidak
mengganggu manusia. Selain itu, masyarakat Bali tentu akan menyemarakkan
pangrupukan dengan pawai Ogoh-ogoh
sebagai simbul Butha yang akan
dilebur pengaruh buruknya. Butha yang
dimaksud tidak hanya makhluk tak kasat mata, melainkan juga ego manusia. Pada
puncaknya hari raya Nyepi, umat beragama Hindu akan melaksanakan Catur Brata
Penyepian yang terdiri dari amati geni (tidak menyalakan api), amati karya
(tidak bekerja/beraktivitas), amati lelungaan (tidak bepergian), dan amati
lelanguan (tidak menikmati keduniawian). Sehari setelah Nyepi, dilaksanakan Ngembak
Geni melalui kegiatan maaf-memaafkan antar sanak keluarga dan masyarakat.
Beberapa
hari yang lalu, umat beragama Hindu telah melewati hari raya Nyepi Tahun Baru
Caka 1939 yang menjadi awal tahun bagi umat beragama Hindu. Pelaksanaanya tidak
jauh berbeda dengan pelaksanaan nyepi di tahun-tahun sebelumnya. Perayaan hari
raya Nyepi inilah yang masih saja menjadi Sang
Belati Bermata Ganda bagi anak-anak, salah satunya di Kabupaten Buleleng.
Disebut demikian karena cara menyikapi perayaan hari raya inilah yang menentukan apakah
Nyepi yang sebenaranya hari raya yang suci, akan memberikan dampak
positif atau justru sebaliknya.
Berdasarkan
informasi yang didapatkan, masyarakat sangat antusias melaksanakan
upakara-upakara sebelum penyepian. Pada saat sebelum Melasti,
berbondong-bondong masyarakat berias dan bersiap, begitu pula anak-anak.
Perayaan saat pangrupukan juga tidak kalah semarak. Anak-anak sangat
bersemangat memainkan bunyi-bunyian saat pecaruan berlangsung. Semua upakara
berjalan baik dan lancar.
Perayaan
utama saat pangrupukan adalah pawai Ogoh-ogoh.
Dikutip dari @info_singaraja, tidak hanya remaja dan orang dewasa, anak-anak
juga sangat antusias dalam pawai ogoh-ogoh. Bahkan mereka ikut serta dalam
pembuatan ogoh-ogoh dan penampilan pawainya. Anak-anak diberikan kesempatan
menuangkan ide-ide kreatifnya untuk membuat ogoh-ogoh serta memperlihatkan kemampuannya
dalam bidang tari bali maupun megamel (memainkan gong). Tidak jarang anak-anak
dan para remaja mengunggah aktivitasnya yang ikut serta dalam persiapan hingga
pelaksanaan pawai ogoh-ogoh. Unggahan foto dan vidio tersebut memperlihatkan bagaimana
anak-anak ikut ambil bagian dalam masyarakat sebagai wujud penghargaan terhadap
peran anak dalam perayaan Nyepi.
Namun
di balik itu semua, ada hal yang sangat disayangkan terjadi dalam perayaan
Nyepi. Seperti kerusuhan yang terjadi di Banjar Dauh Peken, Desa Bungkulan.
Kerusuhan terjadi akibat perseteruan antara dua belah pihak pengarak ogoh-ogoh seusai
pawai. Beberapa dari mereka masih tergolong usia anak.Hal yang sama juga
terjadi di Desa Kubutambahan.
Tidak
seharusnya terjadi pula, pada hari puncak pelaksanaan Nyepi, masih ada anak-anak
yang menggunakan gadget
untuk alasan-alasan tertentu, padahal sudah
diberikan himbauan serta aturan tegas dari pemerintah kabupaten terkait
larangan penggunaan gadget dalam
pelaksanaan Nyepi. Tidak diperbolehkannya
penggunaan gadget saat penyepian,
tidak lain karena melanggar Amati Geni dan Amati Lelanguan dalam pelaksanaan
Catur Brata Penyepian. Saat menggunakan gadget,
akan timbul panas dari gadget itu
sendiri yang sangat bertentangan dengan Amati Geni. Begitu pula dengan Amati
Lelanguan karena penggunaan gadget
saat pelaksanaan Nyepi tidak lain untuk menghilangkan kebosanan sehingga
dianggap sebagai kegiatan menghibur diri. Hal ini yang sangat dipertegas dalam
artikel kali ini agar mulai dibiasakan untuk tidak menggunakan gadget saat Nyepi berlangsung.
Di
sisi lain, ada juga anak-anak yang masih bermain di jalanan saat Nyepi dari
pagi hingga sore hari. Mereka asyik bermain sepeda dan berlari-larian. Mereka juga
menyalakan mercon dan kembang api yang sebenarnya sangat berbahaya. Suara
kendaraan bermotor juga masih saja terdengar di beberapa desa akibat aktivitas
remaja. Pada akhirnya, Catur Brata Penyepian tidak sepenuhnya dilaksanakan.
Beberapa
kalangan masyarakat sering menganggap hal-hal yang tidak sesuai dalam perayaan
Nyepi di atas sebagai suatu kewajaran di usia anak. Utamanya dari segi
penggunaan gadget. Mereka tidak menganggpannya
serius karena anak-anak dianggap belum banyak mengerti tentang pelaksanaan Nyepi
sesungguhnya, yang nanti ketika dewasa mereka akan mengerti sendiri secara
otomatis. Namun, jika terus dibiarkan dari usia anak, maka akan terbiasa dan membudaya
dan pelaksanakan Catur Brata Penyepian
tidak akan diterapkan dengan baik. Justru pelaksanaan yang benar sejak dini
yang akan mengubah tata cara pelaksanaan Nyepi yang salah sesegera mungkin.
Nyepi
Tahun Baru Caka 1939 memang menjadi Belati
Bermata Ganda bagi anak-anak, khususnya di Kabupaten Buleleng. Nyepi yang
seharusnya menjadi cara membersihkan dunia, justru tidak dimaknai dengan baik,
membentuk kebiasaan buruk, bahkan menuai bahaya bagi anak-anak itu sendiri.
Kesadaran
dini sangat diperlukan untuk bisa memahami arti Nyepi sesungguhnya. Dalam hal
ini, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Sosialisasi langsung ke desa-desa akan
sangat membantu menegaskan pelaksanaan Nyepi yang benar, dibandingkan hanya
melalui media massa. Para orang tua harus diberikan pemahaman bahwa anak-anak
juga harus ikut melaksanakan Catur Brata Penyepian tanpa terkecuali. Para tokoh
agama juga memiliki peran yang sangat penting. Mereka harus mampu menjadi
contoh langsung pelaksana hari raya Nyepi yang benar. Aparat yang bertugas
menjaga ketertiban saat sebelum Nyepi maupun saat Nyepi berlangsung harus
bertindak tegas, bukannya ikut melanggar. Seperti misalnya menggunakan
kendaraan bermotor saat memantau pelaksanaan Catur Brata Penyepian yang kerap
terjadi di desa-desa tertentu. Jika perayaan Nyepi dan pelaksanaan Catur Brata
Penyepian yang benar tidak dimulai dari orang dewasa, maka anak-anak tidak akan
mampu melaksanakannya dengan benar pula. Anak-anak akan selalu mencontoh apa
yang terjadi di sekitar mereka.
Untuk
itulah, sangat diharapkan antara pemerintah dan masyarakat untuk saling
merangkul, menjadi pelaksana Nyepi yang lebih baik di tahun berikutnya agarmenjadi
contoh para generasi muda.
Semoga
Nyepi Tahun Caka 1940 tidak lagi menjadi Belati
Bermata Ganda bagi anak-anak di Kabupaten Buleleng.
Mari
awali tahun agama Hindu dengan hal-hal positif....!!!
Referensi:
Wikipedia
Indonesia
@info_singaraja
0 komentar:
Posting Komentar